Rabu, 26 September 2012

Mengintip Konflik Agraria di Negeri Agraris




Oleh: Yuhan Farah Maulida, Dewan Perwakilan Wilayah III Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (POPMASEPI)

Reforma Agraria lahir berkat perjuangan kelas menengah pribumi terdahulu untuk memerdekakan negeri dari feodalisme dan kolonialisme atas segala sumberdaya agraria. Reforma Agraria ditandai dengan lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960). Menurut  Antoro (2012), proses kelahiran UUPA merupakan tarik ulur antara kekuatan dua ideologi besar, yaitu liberalisme dan sosialisme. Bukti penerimaan liberalisme dalam UUPA adalah jaminan hak milik pribadi, dan bukti penerimaan nilai-nilai sosialisme dalam UUPA adalah penegasan bahwa sumberdaya agraria berfungsi sosial, ketentuan batas minimum dan maksimum penguasaan agraria (dalam hal ini tanah) oleh individu maupun badan hukum. Dari segi ideologis, UUPA mencoba mencari titik tengah di antara dua nilai yang menjamin kesejahteraan.
Cita-cita para pejuang pendahulu kita untuk memerdekakan negeri dari foedalisme dan kolonialisme melalui UUPA memang sungguh mulia, khususnya untuk kesejahteraan kaum menengah ke bawah. Namun, pada kenyataannya, cita-cita luhur itu harus terkhianati dengan tendensi-tendensi implisit dari golongan tertentu untuk melancarkan kepentingan dan keuntungan pribadi. Hidden interest oleh kaum pemodal mengakibatkan pecahnya konflik dengan berbagai masyarakat di penjuru negeri ini.
Konflik Agraria di Mesuji, Bima, dan yang paling dekat dengan kita, Kulon Progo, merupakan gambaran kelam pengacuhan terhadap Reforma Agraria. Petani dijadikan korban atas kepentingan pemerintah dan para pemilik modal atau kaum kapitalis. Akibatnya, konflik tak terelakkan, menurut catatan DPR, sejak 2009 sudah tercatat 167 kasus konflik agraria yang harus diselesaikan (Kompas, 12 Januari 2012).
Salah satu konflik yang saya soroti adalah konflik tambang pasir besi di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Persamaannya dengan kasus Mesuji ataupun Bima adalah klaim “ngawur” Pemerintah yang mengatasnamakan Negara dengan segala bentuk intervensi dan kekuasaannya atas tanah-tanah yang sudah menjadi hak masyarakat seolah-olah sebagai tanah Negara. Padahal, dalam kenyataanya penggunaan tanah-tanah tersebut jauh dari kesan penyejahteraan masyarakat. Penggunaan tanah-tanah tersebut lebih untuk ekspansi industri-industri dan hanya berorientasi pada pertumbukan ekonomi praktis, jauh dari kesan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sedangkan perbedaannya, pada kasus Kulon Progo, selain konflik terjadi dengan penjajah bermodal, ada bumbu-bumbu keluarga kerajaan di dalamnya.
Berbicara seputar konflik agraria di Kulon Progo, petani lahan pasir pantai yang sejak lama mengusahakan tanah yang dulunya marjinal sebagai penopang pangan bagi perut-perut manusia, harus juga berjuang melawan intervensi dari penambang-penambang pasir besi yang dikendalikan oleh investor-investor bermodal tinggi. Sebagai imbalan dari tetesan peluh mereka, mereka harus berebut lahan dengan penambang yang posisinya jauh lebih “dijaga” oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa. Proyek pertambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo sampai saat ini belum berhenti melahirkan konflik  karena seringkali terjadi pengabaian hak hidup petani setempat.
Permasalahan semakin pelik ketika perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) meminta aparat penegak hukum untuk mengamankan usahanya. Alih-alih terwujudnya keadilan dalam pemecahan konflik, petani harus menghadapi kenyataan bahwa meraka juga akan berkonflik dengan aparat sewaan sang pemegang HGU. Ironis, sesama rakyat Indonesia harus terlibat konflik horisontal yang diskenario oleh sang pemegang kekuasaan. Sedangkan para penguasa, pengusaha tambang, investor, birokrat serta antek-anteknya bisa tidur nyenyak di kasurnya yang empuk dan mahal yang dibeli dari hasil rampasan sumberdaya agraria para petani lahan pasir pantai Kulon Progo.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia juga mewarnai peliknya konflik di Tanah Pasir Subur Pesisir. Menurut Public Interest Lawyer Network (2010), sepanjang 2004-2010, terdapat 24 kasus kriminalitas terhadap petani (sekurang-kurangnya 175 orang) dan aktivis (sekurang-kurangnya 12 orang) di seluruh Indonesia. Di DIY saja, kriminalisasi dilakukan terhadap Tukijo (petani pesisir Kulon Progo), Slamet dan Fitriyanto (adik dan anak Tukijo) bahkan George Junus Aditjondro (akademisi) karena melawan ketidakadilan politik agrarian dalam kasus yang sama yaitu pertambangan pasir besi di atas tanah yang sah dimiliki oleh warga pesisir Kulon Progo.
Memang, selayaknya kasus-kasus seperti di Kulon Progo, Mesuji, maupun Bima perlu partisipasi tangan-tangan “bersih” dan terampil dalam mengoreksi produk-produk hukum yang menjadi landasan bagi lahan-lahan yang sedang disengketakan. Koreksi ini perlu dilakukan oleh suatu lembaga yang independen guna mengembalikan tahta UUPA sebagai Umbrella Law.
Tidak kalah penting dengan perlunya koreksi yuridis, rakyat tani korban-korban konflik agraria selayaknya diberi perlindungan hak asasi manusia. Perlindungan itu seharusnya berupa pemenuhan hak-hak secara utuh atas keadilan, keselamatan, keamanan, perlindungan dan ketentraman dalam kepemilikan lahan. Untuk memastikan pemenuhan seluruh hak-hak tersebut perlu adanya penerapan nyata Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Praktisnya, perlu adanya pengembalian paham-paham kapitalis pada jalur Reforma Agraria yang populis.

Penulis adalah mahasiswa S1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Bacaan
Adjikusumo, BSW. 2012. Jogja Gate. Sami Aji Center. Yogyakarta.
Antoro. 2012. Keberpihakan Kaum Intelektual Di Tengah Perjuangan Agraria. Makalah untuk Diskusi di BPPM Balairung, 21 September 2012.
Gunawan, Wiradi. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. STPN. Yogyakarta.
Kamaluddin, Laode M. 2012. Reformasi Agraria Dalam Pergulatan Dialektis Otonomi Daerah Dan Pertumbuhan Ekonomi. Makalah untuk Simposium Nasional “Reformasi Agraria, Otonomi Daerah, Kedaulatan Pangan dan Ekonomi Bangsa” di Universitas Gadjah Mada, 26-27 Maret 2012.
Pranoto, Suhartono W. 2012. Reforma Agraria “Ditidurkan”?: Perspektif Historis-Antropologis. Makalah untuk Simposium Nasional “Reformasi Agraria, Otonomi Daerah, Kedaulatan Pangan dan Ekonomi Bangsa” di Universitas Gadjah Mada, 26-27 Maret 2012.
Sudjito. 2012. Konflik Lahan dan Solusinya: Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Ekonomi Bangsa. Makalah untuk Simposium Nasional “Reformasi Agraria, Otonomi Daerah, Kedaulatan Pangan dan Ekonomi Bangsa” di Universitas Gadjah Mada, 26-27 Maret 2012.

Rabu, 05 September 2012

GERAKAN NON GANDUM : 16 Oktober 2012


Indonesia adalah negara agraris yang notabennya harus bisa mewujudkan ketahanan pangan. Akan tetapi, negara Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi dalam impor bahan makanan. Salah satunya adalah ketergantungan dalam impor gandum. Pada kenyataannya, gandum tidak cocok tumbuh di daerah Indonesia yang beriklim tropis. Tetapi mengetahui hal ini masyarakat Indonesia tetap mengkonsumsi tepung terigu yang dibuat dari gandum.
Indonesia memiliki tingkat konsumsi tepung terigu yang tinggi. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya produk pangan berbasis terigu beredar di pasaran. Salah satu produk pangan berbasis terigu yang banyak digemari konsumen adalah mie. Tingginya konsumsi mie berarti pula meningkatnya kebutuhan tepung terigu sebagai bahan baku pembuatan mie. Padahal, untuk mencukupi kebutuhan tepung terigu bangsa Indonesia masih harus impor dari luar negeri.
Dengan kondisi pemenuhan kebutuhan pangan nasional yang masih bergantung pada impor gandum maka dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan Indonesia masih lemah. Hal ini merupakan fakta yang ironis karena di satu sisi Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian sebagai tumpuan bagi sebagian besar penduduknya. Namun, di sisi lain negara kita juga merupakan negara pengimpor pangan dalam jumlah yang cukup besar.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu kegiatan untuk mengurangi impor gandum di Indonesia. Dalam memperingati hari pangan sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober, POPMASEPI menghimbau untuk seluruh Institusi anggota untuk serentak mengadakan kegiatan Pangan Non Gandum dengan kerangkan acuan dapat di download disini.

Sosialisasikan POPMASEPI Pada Orientasi Mahasiwa Baru

        
          Melihat pentingnya pola pengkaderan organisasi maka Pengkaderan POPMASEPI harus dilakukan sejak masa orientasi mahasiswa baru atau pada saat penerimaan mahasiswa baru .

          Untuk itu Dewan Pengurus Pusat (DPP) Menghimbau seluruh Institusi anggota POPMASEPI untuk aktif memberikan pengenalan POPMASEPI pada orientasi mahasiwa baru.
           DPP menyediakan flyer POPMASEPI yang bisa di cetak masing - masing Institusi untuk bisa diperbanyak dan dibagikan kepada mahasiswa baru, khususnya mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian / Agribisnis.
          Flyer dapat di unduh di Flyer Ms Word atau Flyer PDF.