Pembangunan
pertanian Indonesia sudah salah kaprah, kesalahan besar itu karena pembangunan
pertanian Indonesia lebih mengandalkan konsep ketahanan pangan,
yang menempatkan pangan hanya sebagai komoditas
perdagangan dan petani kecil sebagai objek yang berada di lapisan terbawah
piramida struktur pertanian di Indonesia. Lapisan piramida teratas dihuni hanya
oleh 0,2% penduduk, tersusun dari konglomerasi agribisnis, pertanian kapitalis,
pengusaha benih dan pupuk, serta jaringan Industri pangan (Dwi Andreas Sentosa,
Kompas, 26/3/2014). Konsep ketahanan pangan yang dicanangkan juga jauh dari
cita-cita Bangsa yang berdaulat, karena ketahanan pangan yang digagas hanya
terbangun dari sekedar cukupnya kebutuhan pangan bagi rakyat, sehingga
pemenuhan kebutuhannya-pun masih dalam bayang-bayang asing dan hal tersebut
menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang tergantung dan tersubordinasi oleh
bangsa luar.
Permasalahan
ketahanan pangan ini juga sering terjadi karena proses impor pangan
yang tidak sehat dengan
dalih tidak mencukupinya hasil produksi dalam Negeri. Alih-alih memenuhi
ketahanan pangan, imporpun seakan menjadi candu dan bersifat adiktif, bukan
saja untuk produk pangan pokok tapi juga sampai produk pertanian lainnya. Lihat
saja bagaimana produk pertanian lokal harus bersaing ekstra keras dengan produk
impor di pasar swalayan sampai pasar tradisional.
Dalam undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan-pun
dijelaskan mengenai arti dari
ketersediaan pangan yang didefinisikan sebagai kondisi
tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional
serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Poin
tersebut seakan menjadi satu celah bagi terbukanya impor pangan, permasalahan
bukan pada butuh atau tidak butuh, tetapi sampai saat ini data ketersediaan
pangan pun masih simpang siur akan ke validitasannya. Karena bisa saja data
tersebutlah yang dimainkan oleh para kartel untuk menjadi alasan dibukanya
keran impor ditengah ketersediaan pangan dalam Negeri.
Dengan kondisi yang ada tentunya
kami tidak akan tinggal diam setelah diamnya pemerintah atas kedaulatan bangsa
lewat pangan yang tercabik-cabik dibawah hegemoni kekuasaan para kartel dan
bangsa asing. Kami juga tidak akan pernah diam ketika produk pangan lokal harus tersisih oleh produk pangan impor di negeri
sendiri. Kami yang tergabung dalam perhimpunan organisasi professi mahasiswa sosial
ekonomi pertanian Indonesia (POPMASEPI) akan selalu menjadi garda terdepan
dalam membela petani dan pertanian Indonesia khususnya dalam hal kedaulatan
pangan.
Dalam perayaan
peringatan hari pangan sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober tahun ini
kami ingin mengajak kepada seluruh elemen masyarakat dan seluruh stakeholder yang bergerak di bidang
pangan untuk ingat bahwa permasalahan pangan ini hanya bisa terselesaikan
dengan dukungan penuh dari kita semua. Karena saat ini mungkin kita masih belum
mampu mengubah kebijakan pemerintah terkait pangan dengan arah kebijakan yang
salah kaprah. Tetapi, mengutamakan mengkonsumsi
pangan lokal, mengurangi konsumsi akan beras, penyeragaman konsumsi pangan
pokok (Diversifikasi Pangan) dan mengurangi konsumsi pangan pokok yang tidak
bisa diproduksi dalam negeri seperti gandum dan produk olahannya bisa menjadi
langkah kecil kita untuk merubah wajah kondisi pangan dalam Negeri kita dari
ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan sejati, karena kemerdekaan tanpa
kedaulatan adalah semu.
Padang,
16 Oktober 2014
Kajian Strategis dan Advokasi
DPP POPMASEPI