Rabu, 15 Oktober 2014

Menuju Kedaulatan Pangan Sejati

  

Pembangunan pertanian Indonesia sudah salah kaprah, kesalahan besar itu karena pembangunan pertanian Indonesia lebih mengandalkan konsep ketahanan pangan, yang menempatkan pangan hanya sebagai komoditas perdagangan dan petani kecil sebagai objek yang berada di lapisan terbawah piramida struktur pertanian di Indonesia. Lapisan piramida teratas dihuni hanya oleh 0,2% penduduk, tersusun dari konglomerasi agribisnis, pertanian kapitalis, pengusaha benih dan pupuk, serta jaringan Industri pangan (Dwi Andreas Sentosa, Kompas, 26/3/2014). Konsep ketahanan pangan yang dicanangkan juga jauh dari cita-cita Bangsa yang berdaulat, karena ketahanan pangan yang digagas hanya terbangun dari sekedar cukupnya kebutuhan pangan bagi rakyat, sehingga pemenuhan kebutuhannya-pun masih dalam bayang-bayang asing dan hal tersebut menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang tergantung dan tersubordinasi oleh bangsa luar.
            Permasalahan ketahanan pangan ini juga sering terjadi karena proses impor pangan yang tidak sehat dengan dalih tidak mencukupinya hasil produksi dalam Negeri. Alih-alih memenuhi ketahanan pangan, imporpun seakan menjadi candu dan bersifat adiktif, bukan saja untuk produk pangan pokok tapi juga sampai produk pertanian lainnya. Lihat saja bagaimana produk pertanian lokal harus bersaing ekstra keras dengan produk impor di pasar swalayan sampai pasar tradisional.
Dalam undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan-pun dijelaskan  mengenai arti dari ketersediaan pangan yang didefinisikan sebagai kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Poin tersebut seakan menjadi satu celah bagi terbukanya impor pangan, permasalahan bukan pada butuh atau tidak butuh, tetapi sampai saat ini data ketersediaan pangan pun masih simpang siur akan ke validitasannya. Karena bisa saja data tersebutlah yang dimainkan oleh para kartel untuk menjadi alasan dibukanya keran impor ditengah ketersediaan pangan dalam Negeri.
            Dengan kondisi yang ada tentunya kami tidak akan tinggal diam setelah diamnya pemerintah atas kedaulatan bangsa lewat pangan yang tercabik-cabik dibawah hegemoni kekuasaan para kartel dan bangsa asing. Kami juga tidak akan pernah diam ketika produk pangan lokal harus tersisih oleh produk pangan impor di negeri sendiri. Kami yang tergabung dalam perhimpunan organisasi professi mahasiswa sosial ekonomi pertanian Indonesia (POPMASEPI) akan selalu menjadi garda terdepan dalam membela petani dan pertanian Indonesia khususnya dalam hal kedaulatan pangan.
            Dalam perayaan peringatan hari pangan sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober tahun ini kami ingin mengajak kepada seluruh elemen masyarakat dan seluruh stakeholder yang bergerak di bidang pangan untuk ingat bahwa permasalahan pangan ini hanya bisa terselesaikan dengan dukungan penuh dari kita semua. Karena saat ini mungkin kita masih belum mampu mengubah kebijakan pemerintah terkait pangan dengan arah kebijakan yang salah kaprah. Tetapi,  mengutamakan mengkonsumsi pangan lokal, mengurangi konsumsi akan beras, penyeragaman konsumsi pangan pokok (Diversifikasi Pangan) dan  mengurangi konsumsi pangan pokok yang tidak bisa diproduksi dalam negeri seperti gandum dan produk olahannya bisa menjadi langkah kecil kita untuk merubah wajah kondisi pangan dalam Negeri kita dari ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan sejati, karena kemerdekaan tanpa kedaulatan adalah semu.
Padang, 16 Oktober 2014
Kajian Strategis dan Advokasi
DPP POPMASEPI